Berlari mengejar senja di ufuk barat. Menatap tajam
lembayung senja yang terarsir oleh awan yang berwarna merah jingga. Aku
tertegun menatap semua itu. Hamparan permadani hijau yang bergoyang tersapu
angin sore. Hmm… kuhirup dalam – dalam dan kuhempaskan perlahan. Sejenak,
terlupakan semua kisah kelam yang tengah menyelimuti diri. Aku di sini.
Menunggu… sendiri…
ooOoo
Arnetta namanya.
Terlahir sebagai gadis yang memiliki jiwa besar. Semua tantangan hidup
dihadapinya dengan lapang tanpa banyak mengeluh. Sementara aku, aku yang jelas
– jelas selama ini dapat hidup dengan cukup tak ubahnya sebagai hamba yang
sedikit bersyukur.
Lihat Arnetta,
betapa mahal airmatanya, betapa kuat bahunya mengangkat berjuta beban yang
kapan pun siap menghakiminya. Ironis bila dunia memandangnya sebelah mata.
Melihat itu semua, aku hanya bisa terpaku dalam kegamangan akan sebuah ukiran
tak tenang. Aku yang begitu manja dan selalu ingin memerintah adalah lawan dari
cerminan sang gadis yang bernama Arnetta Fidella Rozene.
Tak ingin
membandingkan tapi itulah kenyatannya. Nyatanya, aku hanya bisa mengumpat
kekecewaan akan kekurangan diri yang tak pernah bisa aku tutupi.
Lihat Arnetta,
sungguh mulia hatinya, sungguh elok sifatnya dan setaralah pula rupanya.
Lihat Arnetta, siapapun
akan iri padanya. Dunia berada ditangannya namun tak satu pun penyakit hati
singgah di hatinya.
Sahabatku Arnetta …
Dengan sejuta keanggunan yang menyelimuti
kekurangannya, tak pernah ia menumpahkan keluh kesahnya pada siapapun. Siapa
yang menyangka gadis manis yang sederhana itu memiliki tubuh yang tak sempurna.
Ketika kedua tangannya harus diamputasi setahun yang
lalu, Arnetta memang sedikit kacau tapi kekacauan itu tak berlanjut karena
keteguhan iman yang dimilikinya ia merasa kuat untuk menerima kenyataan itu.
Titik awal dimana ia harus tetap menyadari bahwa hidupnya tak berhenti di sini.
Sebuah keyakinan menguatkan dirinya akan pengembalian semua yang dia punya
suatu saat nanti bila ia bisa menerima semua ini dengan lapang dada. Aku harus
banyak belajar ilmu ikhlas padanya.
“Jangan menyerah ya …” katanya memberikan semangat
kepadaku agar aku tetap berusaha dan tidak menyerah ketika aku mengalami
kegagalan.
Tidak hanya dengan ucapan, Arnetta juga memberikan
contoh yang nyata ketika dua bulan yang lalu Ia harus rela dan ikhlas ketika
Allah SWT mengambil nyawa Ayahanda tercintanya. Tabahnya Ia menerima semua
kegetiran ini secara beruntun membuat dirinya semakin yakin akan adanya hari
akhir.
Hidupnya yang serba kekurangan pun seolah
diabaikannya. Puncaknya, ia memutuskan untuk berhijab dengan balutan pakaian
muslim yang membuatnya semakin anggun dan mempesona. Kecantikan hatinya pun
semakin terpancar sehingga membuai aku dalam pesonanya. Subhanallah, aku semakin bangga memiliki sahabat sepertinya.
Aku tahu, mungkin banyak yang menganggap tidaklah ada
yang sesempurna Arnetta di dunia ini, tapi anggapan itu tertepis dan luluh
ketika Arnetta benar – benar hadir dan ada di dunia ini. Inilah kuasaNya. Tak
ada yang tak mungkin di dunia ini bila Dia sudah berkehendak.
“Percayalah, ketika kita mengembalikan semuanya kepada
Allah SWT, semua akan berjalan dengan baik. Aku percaya bahwa Allah tidak akan
memberikan apa yang kita inginkan karena Allah hanya akan memberikan apa yang
kita butuhkan. Aku pun tak pernah mau mengeluh dan mengikhlaskan semuanya.
Ketika Allah mengambil kedua tanganku, aku berusaha bersyukur. Ketika Allah
mengambil Ayahku, aku berusaha mengikhlaskan, dan ketika Allah memintaku untuk
berhijab layaknya wanita muslimah, aku mematuhinya. Aku hanya ingin ketenangan
dalam hidupku.”
Ucapan Arnetta ada benarnya. Tak sepantasnya aku
banyak mengeluh. Baru sakit demam biasa saja, aku sudah banyak mengeluh.
Padahal, aku masih memiliki sepasang tangan yang sempurna dan kedua orang tua
yang senantiasa berada di sampingku serta berkecukupan harta.
“Han, jangan mengeluh lagi, ya … kamu cuma kecapekan
aja. Sekarang istirahat, ya … aku pulang dulu. Insya Allah aku akan datang lagi
besok.” Seru Arnetta ketika Ia menjengukku di rumah.
“Terima kasih ya, kamu sudah jenguk aku …”
Arnetta mengangguk.
“Netta … satu hal yang harus kamu tahu bahwa aku
bangga menjadi sahabatmu …” katanya
menghiburku.
Arnetta tersenyum. “Assalamu’alaikum … “
“Wa’alaikumsalam …”
ooOoo
Ketika aku hendak ke dapur untuk mengisi kembali gelasku
yang kosong, aku memergoki kedua orang tuaku tengah menangis. Isak tangis Mama
dan Papa pecah di dalam kamar tidurnya. Aku mengintip di balik pintu yang tak
tertutup rapat. Aku bertanya – tanya dalam hati. Aku sendiri mengurungkan
niatku untuk bertanya kepada Mama dan Papa. Aku memutuskan untuk kembali ke
kamar tidurku karena tiba – tiba saja kepalaku terasa sangat pusing. Ketika aku
berusaha berjalan menuju kamar, aku tak sadarkan diri. Aku terjatuh bebas ke
lantai. Gelas yang kupegang pun pecah seketika ketika berbenturan dengan
lantai. Mama dan Papa bergegas berlari keluar kamar dan mendapatiku tak
sadarkan diri. Selanjutnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Yang aku tahu,
ketika aku tersadar, aku sudah berada di suatu ruangan yang kukenal baunya.
Aroma khas rumah sakit membangunkan aku. Kubuka kedua mataku perlahan. Sekilas
kabut membuat aku memicingkan mataku. Samar aku melihat sosok yang begitu
familiar. Aku memutar pandangan ke seisi ruangan. Rupanya bukan hanya Mama dan
Papa yang ada di ruangan ini. Ada Bi Imah, Pak Sardi dan … Arnetta. Ya, ada
Arnetta, tepat di samping kiriku.
Aku berusaha bangun namun dicegah oleh Mama.
“Kamu istirahat saja, ya sayang …” Ujar Mama.
“Hanny nggak papa, Ma … Hanny mau pulang …” kataku
berusaha meyakinkan Mama kalau aku sudah tidak apa – apa. Rasa pusing di
kepalaku pun sudah menghilang. Hanya saja tubuhku masih merasa lemas untuk
bergerak banyak.
“Hanny, apa yang kamu rasakan sayang?” Tanya Papa
dengan nada penuh kecemasan.
“Ehm … nggak ada … Hanny nggak papa, Pa …” jawabku
lirih.
“Hai Han … kamu nggak apa-apa?” Tanya Arnetta dengan
sunggingan senyum khasnya. Aku membalas senyumannya. Belum sempat aku menjawab
pertanyaan Arnetta, dokter yang menangani aku datang dan memanggil Mama dan
Papa. Katanya ada yang ingin dibicarakan dengan Mama dan Papa. Mama dan Papa
mengikuti dokter yang keluar dari ruanganku. Disusul oleh Bi Imah dan Pak
Sardi. Kini tinggal aku dan Arnetta di ruangan.
“Netta, aku kenapa? Kok aku ada di sini?” Tanyaku pada
Arnetta.
Arnetta menghela napas. “Aku sendiri nggak tahu
kejadiannya. Tadi aku ditelepon sama mamamu, katanya kamu baru aja pingsan di
rumah. Kebetulan aku masih ada kegiatan di kampus, makanya aku baru datang tak
berapa lama sebelum kamu sadar. Sewaktu di jalan, mamamu sms aku untuk datang
langsung saja ke rumah sakit. Justru aku yang mau bertanya, kamu ini kenapa?”
“Aku sendiri nggak tahu, Ar … Yang aku ingat, aku
melihat Mama dan Papa menangis di kamar. Sewaktu ingin kutanyakan ada apa, tiba – tiba aja kepalaku merasa pusing dan
setelah itu aku tak tahu apa – apa lagi.” Terangku pada Arnetta.
Arnetta mendengarkan ceritaku dengan seksama. Tak
lama, Arnetta menunduk dan tak berani menatap kedua bola mataku. Kulihat
sekilas, ada genangan airmata yang tertahan di pelupuk matanya.
“Netta, kamu nggak papa?” tanyaku pelan.
Netta seolah tengah memikirkan sesuatu. Aku tak mau
bertanya lagi. Mungkin Ia memang tak mau berbagi kisah kepadaku. Suasana hening
sampai Mama dan Papa datang.
“Ma, Pa … apa kata dokter? Dokter bilang apa? Hanny
nggak papa ‘kan, Ma … Pa …” Cerocosku layaknya kereta api. Aku butuh jawaban
dari pertanyaanku, namun yang kudapatkan hanya pandangan kosong Mama dan Papa.
Arnetta pun hanya menunduk layu.
“Bi Imah sama Pak Sardi mana, Ma?” tanyaku lagi.
“Bi Imah sama Pak Sardi udah Mama suruh pulang biar
ada yang jaga rumah.” Jawab Mama pelan.
“Lho kok gitu? Jangan bilang Hanny harus dirawat di
sini … Hanny nggak mau … Hanny mau pulang …”
“Sayang, kamu istirahat saja dulu ya …” Tukas Papa
seraya membelai rambutku yang terurai.
“Hanny, Om, Tante … Netta keluar sebentar …” Ujar
Netta.
Tak lama setelah Arnetta keluar ruangan, Mama juga
keluar dari ruangan. Sementara Papa tetap menjagaku. Aku berpura – pura
memejamkan mata agar Papa berpikir aku telah tertidur untuk menyenangkan hati
Papa. Setelah Papa menganggap aku telah tertidur pulas, Papa meninggalkan aku
sendiri di ruangan. Diam – diam aku mengikuti langkah Papa. Aku melihat dan
mendengar semuanya dari balik pintu ruangan. Mama, Papa dan Arnetta tak
menyadari bahwa aku tengah memasang telinga dan mata untuk mencari tahu apa
yang sebenarnya tengah terjadi.
Arnetta yang terduduk layu di ruang tunggu tamu di
depan ruangan dikejutkan oleh kedatangan Mama. Mama duduk di sebelah kiri
Arnetta. Papa memilih untuk tetap berdiri di depan Mama dan Arnetta.
“Netta … terima kasih sudah datang.” Mama memulai
pembicaraan.
“Iya, Om sama Tante mau bilang terima kasih kamu sudah
mau datang ke sini untuk menemani Hanny.” Papa ikut berujar.
Arnetta hanya tersenyum.
“Netta, Tante dan Om minta agar Netta tetap
merahasikan semua ini sama Hanny. Om sama Tante tidak mau Netta tahu bahwa dia
…” Mama menumpahkan tangisannya di pelukan Papa. Papa berusaha menenangkan
Mama. Arnetta pun ikut menitikkan airmata.
Hei,
ada apa ini? Apa yang kalian rahasiakan? Tanyaku
dalam hati.
“Tadi dokter bilang, kalau kondisi Hanny sudah semakin
buruk. Walaupun fisik Hanny masih bugar, tapi kenyataannya penyakit Hanny
menggerogoti bagian dalam tubuh Hanny sehingga organ dalam tubuh Hanny sudah
banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dokter pun tak tahu
penyebabnya. Tapi , dokter akan terus berusaha untuk mencari tahu penyakit apa
yang sesungguhnya diderita oleh Hanny.” Jelas Papa kepada Arnetta.
“Yang membuat Tante semakin sedih, dokter bilang bahwa
dokter tidak bisa memprediksi penyakit yang diderita oleh Hanny dan itu
menyebabkan penanganan yang lambat dari dokter. Itu berarti kondisi Hanny akan
semakin memburuk karena penanganan yang terlambat.” Tukas Mama.
“Tante sama Om yang sabar, ya … semua pasti ada
hikmahnya …” Arnetta mulai bersuara. “Kalau diizinkan, Arnetta bersedia
menginap di sini untuk menemani Hanny.”
Mama dan Papa mengangguk tanda setuju. Aku memutuskan
untuk cepat – cepat kembali
ke ranjang dan berpura – pura tidur sebelum Mama, Papa dan Arnetta kembali ke
ruangan. Dalam hati, aku menangis ketika ucapan Mama dan Papa terngiang di
telinga. Apa hal ini yang membuat Mama dan Papa menangis?
Sebenarnya,
aku ini kenapa?
Keangkuhan diriku yang selalu merasa sempurna
dibandingkan dengan yang lain, ternyata runtuh seketika ketika aku menyadari
bahwa aku lebih rapuh dari daun kering. Ternyata aku tak sekuat batu karang
yang dihempas ombak. Ternyata aku hanyalah seonggok daging yang berpenyakitan
dan tak berguna. Ternyata aku lebih payah dari Arnetta. Aku kalah darinya.
Aku menangis sejadinya ketika hanya tinggal Arnetta
yang tengah tertidur pulas di kursi tepat di sebelah kanan ranjangku. Mama dan
Papa memutuskan untuk pulang dan datang lagi pagi nanti. Kulihat wajah Arnetta
yang begitu teduh. Kujalari pandanganku juga ke arah kedua tangannya yang telah
tiada. Mengapa Arnetta bisa begitu tegar dengan semua kenyataan pahit yang
menimpa dirinya? Mengapa aku tak bisa seperti dirinya yang selalu tabah dan
ikhlas dengan setiap takdir hidupku?
ooOoo
Sudah genap seminggu aku di rawat di rumah sakit ini.
Tapi tampaknya tidak ada perubahan yang signifikan dari penyakitku. Aku masih
sering merasa pusing dan puncaknya semalam aku muntah darah. Darah yang
berwarna merah, kental sekali. Itu membuat Mama dan Papa semakin sedih melihat
keadaanku. Arnetta yang masih setia menemaniku membuatku merasa sedikit
terhibur dan tak merasa bosan. Sampai di suatu pagi, Mama dan Papa memutuskan
untuk mengatakan langsung kepadaku. Mama dan Papa tak tega terus menerus
merahasiakan semuanya kepadaku karena kondisiku yang semakin memburuk. Rambut
panjangku sudah mulai rontok dan hampir botak. Tubuhku yang semakin kurus
karena daging di tubuhku lama – kelamaan tergerogoti oleh penyakit. Hanya
tinggal tulang berbalut kulit saja. Arnetta masih tak meninggalkan aku walaupun
keadaanku seperti ini.
Kini ku tahu bahwa usiaku mungkin tak akan lama lagi
karena dokter yang merawatku sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa penyakit
yang kuderita tak dapat disembuhkan. Aku tak tahu pasti penyakit apa yang
kuderita. Sungguh, kini aku tak lebih dari sosok yang menyedihkan dan
memprihatinkan. Dengan semangatnya, Arnetta terus memberikan motivasi kepadaku.
Arnetta tahu bahwa aku tak akan sembuh, namun Ia tak lelah memberikan semangat
kepadaku. Ia berusaha meyakinkan aku bahwa aku akan sembuh karena semuanya
adalah kehendakNya.
“Han, Allah itu tahu yang terbaik untuk kita … Bedakan
antara pasrah dan menyerah. Serahkan semuanya sama Allah. Dialah yang
mengetahui segalanya. Ketika kita telah memasrahkan semuanya kepada Allah,
niscaya kita akan mendapatkan keputusan yang terbaik.” Ujar Arnetta dengan
tatapan yang begitu tulus kearahku. Aku bisa merasakan keresahan dirinya.
“Netta, kalau malaikat mencabut nyawaku lima menit lagi, apa yang sebaiknya
aku katakan kepadanya?”
“Katakanlah dengan tenang … Ashadu ‘alaa ilahailallah wa ashhadu ‘anna muhammadurrasulullah …
ucapkan dua kalimat syahadat dengan perlahan … menandakan bahwa kamu mengimani
keberadaan Allah SWT … Insya Allah …” Arnetta menitikkan airmata ketika
mengucapkan syahadat. Ia menundukkan kepalanya.
Masya
Allah … begitu berat ujian untukku, mengapa Engkau juga ingin mengambil
sahabatku setelah sebelumnya Kau ambil kedua tanganku dan ayahku? Apa karena
Engkau lebih mencintainya daripada aku? Bila ini memang yang terbaik baginya
dan juga bagiku, kuikhlaskan kepergiannya,
gumam Arnetta dalam hati.
Mama dan Papa yang berada di ruangan ikut menangis.
Aku merasa sudah ada sosok yang datang namun sama sekali tak bisa kugambarkan.
Seluruh tubuhku menggigil dan bergetar melihat kedatangan sosok itu. Arnetta
tahu bahwa aku telah berada di ujung sakratul maut. Mama dan Papa memeluk
tubuhku yang terkulai di ranjang. Arnetta menuntunku mengucapkan dua kalimat
syahadat. Membisikkan di telingaku.
Sadar bahwa aku mendekati pintu kematian, aku
menegang. Ingin kuucapkan dua kalimat shayadat namun lidahku terasa kelu dan
membeku. Kuucapkan dalam hati, tapi sudah terlanjur sesak dada ini.
Ya,
Allah … ampunilah dosaku … masih adakah waktu untuk bertobat kepadaMu? Ya Allah
… dengan menyebut namaMu aku hidup dan dengan menyebut namaMu pula aku mati …
Detik – detik terakhir kepergianku…
Kusampaikan salam perpisahan untuk dunia dan kepada
orang – orang yang menyayangiku …
Mama, Papa dan Arnetta memanggil perawat dan dokter. Kepanikan
menggelayuti ruangan tempatku berada. Dokter dan beberapa perawat datang
tergesa – gesa lalu memeriksa tubuhku. Sayang, aku sudah tak ada tubuhku. Aku
sudah menyatu dengan udara dan tak mungkin bisa kembali atau pun diselamatkan.
Mama berteriak histeris ketika dokter menyatakan bahwa
aku sudah tiada. Papa pun tak bisa membendung lagi airmatanya yang sejak tadi
tertahankan. Arnetta pun demikian. Sahabatku, tetaplah tersenyum dan jangan
menangis karena tangisanmu akan membuat semua makhluk di bumi ini ikut bersedih
dan menangis. Kau yang mengatakan bahwa aku tak boleh menyerah dan aku akan
berjanji untuk tak akan menyerah. Hidupku baru saja dimulai dan mungkin kita
tak akan bertemu dalam waktu lama. Tinggallah aku dengan amalanku. Terima kasih
untuk semuanya.
Kawan,
Lihatlah Arnetta …
Sementara itu, Arnetta kembali menata hidupnya.
Diusianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Ia sudah banyak ditinggalkan
oleh orang – orang yang disayanginya. Ayahnya lalu kemudian aku, sahabatnya. Di
luar itu, Ia pun harus rela kehilangan kedua tangannya. Bagaimana lagi Ia harus
menata hidupnya?
Di sela do’anya seusai shalat, Ia menyebut namaku. Ia
mendo’akan aku agar aku tenang disisiNya. Arnetta, begitu tulusnya Ia
bersahabat denganku. Tak akan pernah kulupakan. Bila kelak kita bertemu nanti
di syurga, ku akan meminta kepadaNya untuk senantiasa melimpahkan segala
keberkahan untuknya.
Ya
Allah,
Ketika
aku harus merasa kehilangan untuk kesekian kalinya, aku akan berusaha untuk
ikhlas …
Bila
memang ini takdirku, aku akan menerimanya sebagaimana seorang hamba yang taat
kepadaMu …
Sesungguhnya,
Engkau lebih mencintai dan menyayanginya lebih dari rasa sayangku kepada orang
yang telah Kau ambil lebih dulu …
Ya
Rabb,
JanjiMu
adalah benar, oleh karena itu aku mengikhlaskan kepergian orang – orang yang
kusayangi karena aku percaya Kau akan menempatkannya di tempat yang terbaik di
syurga.
Ampunilah
segala dosanya dan tempatkanlah mereka di tempat yang layak, disisiMu ya Allah
…
Ayah,
kepergianmu memang membawa luka awalnya namun setelah aku tahu bahwa Allah
lebih mencintaimu daripada aku, aku bisa menghapus airmataku dan merasa tenang.
Hanny,
kau sahabatku dan sampai kapanpun kau tetap sahabatku. Teriring do’a tulusku
untukmu agar senantiasa kau tenang di sana. Tersenyumlah untukku.
Ya
Allah, Kau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang …
Ampunilah
segala dosa ayahku dan sahabatku …
Amin …
by S.A.T (Shafiqah Aida Treest)
arneta itu nama adik sayaaaaa....hehhee....
BalasHapusNice writing mas.....
oya, jangan lupa mampir di blog saya yaaa... maklum masih newbie nihhh.. (follow juga boleehhhh...)
my blog: Stylish Generation