Oleh: Ummu Mariah Iman Zuhair
Aku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini,
seakan-akan anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya.
Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:
Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam
tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara
burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik,
terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang
tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung
pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang
gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak
meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.
Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang
gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak
kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian
pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku
mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok
tersebut.
Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah.
Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang
membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke
pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan
agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan
sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama
Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya,
dan memerintah kepada yang ma’ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.
Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya
pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.
Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:
Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang
pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan.
Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak
muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: “Wahai ummi, bagaimana dia
akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat
adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan
melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai
pembantu kita!!”
Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu
tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut
mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: “Mama, aku sekarang
menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah
mengajarkan kepadaku tentang Islam.” Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar
baik ini.
Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta
pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan
ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya
setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai
pamannya tersebut.
Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun
yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik.
Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua
orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau
menyembunyikannya dari kami selama ini?
Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami
ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia
menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: “Sakit ringan di kakiku.”
Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia
menjawab: “Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah.” Setelah itu dia tidak
mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.
Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah
satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki
mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang
penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di
atas ranjang.
Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan
dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan
alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan,
saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata:
“Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah.” Akupun mendekatkan dia di dadaku
sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: “Wahai ummi, alhamdulillah,
musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku.”
Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang
melihat kepadanya dengan tercengang!!
Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan
kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama
kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun
penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!
Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.
Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta
akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan.
Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar
memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya
berkata: “Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai
rambut dari kepalaku.”
Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika
dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang
dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun.
Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya:
“Apakah engkau seorang muslimah?” Dia menjawab: “Tidak.”
Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar
yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu
dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi
linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di
Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang
seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui
tangannya.
Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali
mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai
ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut
terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger.
Afnan bertanya kepadanya:
“Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk
mengamputasi kakiku?” Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin
bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab
dengan satu kalimat: “Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah
mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna.”
Temanku tersebut berkata: “Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil
di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju
kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari
itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati.”
Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba
kanker telah menyerang paru-paru!!
Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas
ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol
tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.
Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang
yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari
komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu’ dan shalat, tanpa ada seorangpun
yang membangunkannya!!
Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada
gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal.
Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia
menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.
Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan
berbicara dengannya.
Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia
berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia
terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu
pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku
tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka
kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan
dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam.
Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: “Ummi, kemarilah, aku mau
menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat.” Kukatakan: “(Mimpi) yang baik
Insya Allah.” Dia berkata: “Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari
pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan
keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan
pernikahanku, kecuali engkau ummi.”
Akupun bertanya kepadanya: “Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu
tersebut.” Dia menjawab: “Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan
mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan
berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas
perpisahanku.” Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku
menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku,
setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.
Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu
Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: “Ummi,
mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu.” Maka diapun menciumku. Kemudian dia
berkata: “Aku ingin mencium pipimu yang kedua.” Akupun mendekat kepadanya, dan
dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata
kepadanya: “Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah.”
Maka dia berkata: “Asyhadu alla ilaaha illallah.”
Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: “Asyhadu allaa
ilaaha illallaah.” Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata:
“Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.” Dan
keluarlah rohnya.
Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak
kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan
terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan
aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang
aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil ‘aalamin. (AR)*
Sumber: Majalah Qiblati Edisi 4 Tahun 3
www.qiblati.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar